Episode terakhir Dark telah tayang, ada banyak hal berseliweran di kepala yang ingin saya tuangkan setelah menontonnya. Maka tulisan ini bukan ulasan, lebih seperti testimoni dan interpretasi pribadi saya sebagai penonton dan penggemar serial ini. Saya jarang sekali menulis tentang produk budaya pop, apalagi serial televisi. Namun Dark adalah salah satu karya yang patut untuk dikenang, atau setidak-tidaknya diperbincangkan.
Saya menonton Dark tanpa ekspektasi apa pun dan tanpa pengetahuan apa pun. Di episode awal musim pertama, saya mengira Dark adalah serial time travel lainnya dengan plot sederhana yang mudah tertebak seiring waktu. Namun di tengah jalan semua asumsi saya tentang serial ini runtuh seketika. Semakin lama saya menonton semakin saya tertarik ke dalam kota Winden dan karakter-karakter yang menghidupinya. Suasana kota yang senyap dan dingin, karakter-karakter yang putus asa, dan plot yang rumit berhasil membedakan Dark dari serial-serial science fiction lain.

Ada banyak yang bisa dipuji dari serial ini, baik dari segi produksi maupun penyajian cerita. Namun salah satu aspek terbaik yang membuat saya menonton tanpa henti adalah konsep penjelajahan waktu yang tersajikan dan terkomunikasikan dengan baik. Banyak film atau serial televisi menggunakan time travel sebagai tema, tapi kebanyakan dari mereka mengambil jalan pintas dengan menyederhanakan konsep dan menyesuaikannya untuk membuat plot seru yang mudah diterima.
Saya bukan fisikawan, tidak tahu apa-apa soal fisika kuantum, sehingga tidak tahu seberapa valid konsep waktu yang ditawarkan Dark. Namun di musim terakhirnya, Dark bisa menawarkan konsep relativitas waktu yang sederhana dan rumit secara bersamaan. Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan hadir secara bersama-sama, membawa kemungkinan untuk terciptanya parallel universe.
Tapi Dark juga meletakkan fondasi-fondasi saintifik yang menunjukkan kompleksitas dan paradoks waktu, di mana waktu tidak memiliki awal dan akhir. Paradoks ini jugalah yang membuat karakter-karakter pada cerita terjebak dalam siklus tanpa batas, dan harus mengalami penderitaan secara berkali-kali tanpa ada jalan keluar.
Winden penuh dengan ketidakceriaan, kota ini menyimpan trauma dan rasa hampa. Pada musim pertama dan kedua, kita harus menyaksikan Jonas yang berulang kali mencoba untuk mematahkan siklus. Setiap percobaan yang dia lakukan, lagi-lagi membawanya kepada titik yang semula. Sebelum musim terakhir tayang, saya ingat ada teori yang bersikulasi di internet mengatakan bahwa Jonas bukanlah Adam. Saya juga ingin mempercayainya karena mana mungkin, jagoan kita selama ini yang bertaruh nyawa melintasi ruang dan waktu untuk menyelamatkan orang-orang, justru berubah menjadi sosok dingin dan pahit yang menggerakkan semuanya di masa depan.
Tapi setelah menonton musim terakhir saya paham, bahwa perubahan dalam diri Jonas adalah hal yang logis. Ia menyaksikan orang yang disayanginya mati, Ia menjelajahi waktu seorang diri untuk menyelamatkan seisi kota, hanya untuk diberi tahu kalau semua yang dilakukannya tidak berdampak apa-apa.
Terlebih lagi, Ia tidak dimungkinkan untuk mati walau mencoba bunuh diri. Keputusasaan ini tidak hanya dialami oleh Jonas (atau Martha di dunia yang lain), tapi juga dialami oleh karakter lainnya. Satu-satunya karakter yang cukup tangguh untuk keluar dari kebingungan dan keputusasaan adalah Claudia Tiedemann, yang pada akhirnya mampu mengubah segalanya.
Dark menghindari konsep dualitas yang memapankan baik dan buruk, dengan menghadirkan dunia ketiga — dunia orisinil. Dengan demikian oposisi hitam-putih, Adam-Eva, menjadi tidak berlaku. Dark juga memposisikan free will bukan sebagai konsep mutlak, melainkan berhadap-hadapan dengan struktur yang tidak terhindarkan. Kita terus-menerus bergerak bolak-balik di antaranya seperti pendulum. Di bagian terakhir, kita melihat Adam rela membunuh Martha, orang yang paling disayanginya.
Ia yakin membunuh Martha akan menghentikan siklusnya, walaupun artinya realita dan dunianya juga akan hilang. Tidak ada keberpihakan dalam Dark, karena yang menjadi musuh adalah realita mereka sendiri. Ketika keputusasaan sudah mencapai puncaknya, ketiadaan dilihat sebagai satu-satunya solusi.
Barangkali kita bisa belajar juga tentang nihilisme dari penduduk kota Winden, seperti ucapan Hannah Kahnwald di meja makan pada episode terakhir:
“This is exactly what I dreamt last night. The light was flickering. There was a loud bang, and suddenly everything was dark. And somehow the world had ended. It was just dark, and it never became light again. I had this peculiar feeling that it was a good thing for everything to be over. Like suddenly being free of everything. No wanting. No having to. Just infinite darkness.”
Tapi di antara kerumitan cerita dan garis waktu yang tumpang tindih, musim terakhir Dark menawarkan penyeimbang yang membuat semuanya terasa cukup — kisah cinta antara Martha dan Jonas. Apabila selama ini Jonas dan Martha bergerak untuk menyelamatkan satu sama lain, di akhir cerita mereka justru harus menerima konsekuensi bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan ini semua adalah dengan menghilangkan dunia yang melahirkan mereka berdua. Tidak ada kata-kata selamat tinggal yang clicheatau romansa yang berlebihan, hanya percakapan tenang yang membawa kita ke akhir cerita:

“Do you think anything of us will remain? Or is that what we are? A dream? And we never really existed?”
“I don’t know.”
Akhir tersebut bukan resolusi yang menggembirakan, tapi tetap terasa pas dan memang harus terjadi. Mungkin saya tidak mengerti seratus persen silsilah keluarga dan plot rumit yang disajikan Dark, tapi saya memahami Jonas dan Martha. Keduanya menjadi penawar dalam semesta Dark yang penuh kegelapan dan kehampaan. Dark telah menjadi salah satu serial sci-fi terbaik yang pernah saya tonton. Terima kasih Jantje Friese dan Baran bo Odar, terima kasih para pemain dan segenap orang yang bekerja dibalik layar, serta terima kasih Winden.