Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengeluarkan pernyataan bahwa universitas perlu lebih banyak mencetak lulusan bidang sains. Pandangan yang sama juga dikemukakan tahun lalu oleh mantan Menristekdikti, Mohamad Nasir.
Basis argumen dari perspektif ini adalah bahwa lulusan ilmu alam jumlahnya kalah banyak dari lulusan ilmu sosial, dan kondisi ini tidak sesuai dengan ‘kebutuhan industri’. Pernyataan ini membuat saya geleng-geleng kepala, dan saya yakin saya tidak sendirian.
Pertama, pandangan ini mengisyaratkan bahwa ilmu sosial-humaniora ‘kurang berguna’ bagi keberlangsungan industri. Kedua, pernyataan ini seakan-akan menegaskan peran perguruan tinggi sebagai pabrik pencetak tenaga kerja. Hal ini membuat saya mempertanyakan makna pendidikan bagi negara. Apa fungsinya perguruan tinggi? Apakah pengetahuan hanya sebatas alat untuk menopang kebutuhan pasar?
Sebelum membahas lebih jauh tentang kesalahan dan bahaya dari pandangan menteri-menteri tersebut, ada baiknya kita membahas terlebih dahulu isu yang telah lama menjadi riak dalam pendidikan Indonesia, yaitu pemisahan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Sebagai mahasiswa Sosiologi, saya turut merasakan dampak kesenjangan antara kedua cabang ilmu tersebut. Sosiologi sering dianggap sebagai ilmu yang tidak jelas, ngawang, dan tidak berprospek – satu nasib dengan Arkeologi, Sastra, Filsafat, Sejarah, dan jurusan lainnya yang dianggap ‘kurang berguna’. Di Indonesia, ilmu sosial-humaniora memang kalah prestise dengan jurusan ilmu pasti seperti Teknik, Kedokteran, atau Pertanian. Kami kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang terobsesi dengan pekerjaan-pekerjaan teknis.
Ilmu sosial-humaniora seringkali disalahpahami sebagai ilmu yang mudah dan kurang canggih apabila disandingkan dengan ilmu alam yang melibatkan rumus dan technical skills. Karakteristik ilmu sosial yang interpretatif membuat orang-orang terlanjur berpikir bahwa siapa pun bisa memahaminya tanpa mempelajarinya. Meski interpretatif, ilmu sosial memiliki sesuatu yang tidak ditawarkan oleh ilmu alam. Sejak awal, kami sudah diajarkan untuk menyusun argumen dan menuangkannya ke dalam tulisan. Untuk orang awam mungkin menulis adalah kemampuan dasar, tapi menulis adalah bagian dari kemampuan berpikir dan berdialog.
Selain itu kami juga dilatih untuk berpikir kritis – berpikir kritis tidak melulu soal analisa teori, tapi juga soal keberanian untuk membongkar permasalahan-permasalahan yang dekat dengan keseharian. Tapi yang terpenting, kami diajarkan untuk mampu bersikap humanis dan berempati terhadap sesama.
Dalam artikel yang diterbitkan oleh LIPI, disebutkan bahwa kajian ilmu sosial dan humaniora memiliki peran yang signifikan terutama dalam pembuatan kebijakan. Kajian tersebut merupakan cara untuk menjembatani kebutuhan masyarakat dengan kebijakan yang tepat sasaran, dan apabila diabaikan maka tinggi kemungkinan terbitnya kebijakan yang tidak solutif atau bahkan tidak adil.
Bukti paling nyata dan terkini soal signifikansi ilmu sosial adalah banyaknya masalah sosial yang yang timbul di kala pandemi Covid-19. Ketahanan masyarakat dalam menghadapi pandemi, bantuan sosial yang tidak merata, komunikasi publik yang buruk, dan pengambilan jenazah secara paksa, adalah beberapa contoh masalah yang sebenarnya bisa diminimalisir apabila ilmuwan sosial dilibatkan dalam penanganannya. Kekacauan penanganan Covid-19 di Indonesia bukan semata-mata tentang buruknya manajemen kesehatan masyarakat, tapi juga tentang buruknya pemahaman pemerintah mengenai kondisi sosial masyarakat.
Hal ini menjadi bukti bahwa karakteristik ilmu sosial yang interpretatif, justru menjadi kekuatan utama yang memungkinkan ilmu sosial untuk bisa diaplikasikan ke hampir semua bidang pekerjaan yang melibatkan manusia. Dengan demikian, argumen bahwa lulusan ilmu sosial ‘tidak sesuai dengan kebutuhan industri’ menjadi tidak valid. Pandangan tersebut justru bisa merugikan karena potensi ilmu sosial untuk memberikan sumbangsih tidak dimanfaatkan dengan baik.
Kecenderungan untuk memisahkan ilmu alam dengan ilmu sosial beresiko untuk membatasi pengetahuan yang sifatnya multidisiplin. Kemampuan teknis dan kemampuan berpikir kritis adalah dua hal yang saling melengkapi, jika tidak berjalan bersamaan maka hanya akan melahirkan teknisi yang tidak peka terhadap realita sosial atau ilmuwan sosial yang hanya pandai berteori.
Apabila negara gagal dalam memahami ini, maka tujuan pendidikan untuk memerdekakan tidak akan pernah terwujud. Baik ilmu sosial maupun ilmu alam bukan hanya hadir untuk memenuhi kebutuhan industri, tapi terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Jika ilmu pengetahuan hanya berfungsi untuk kepentingan industri dan perguruan tinggi hanya berfungsi sebagai pabrik pencetak tenaga kerja, lalu untuk apa Nadiem Makarim menggunakan istilah “Merdeka Belajar”? Tidak ada yang merdeka dari pendidikan yang berorientasi pasar. Apabila kami masih dinilai ‘tidak sesuai dengan kebutuhan industri’, barangkali bukan kami yang harus menyesuaikan, melainkan industri yang harus dirombak agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.